
Pemerintah Bidik Penurunan Kemiskinan ke 6,5% dalam Dua Tahun
Target Kemiskinan Indonesia 2026 ditetapkan secara ambisius oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Pemerintah menargetkan tingkat kemiskinan nasional berada pada kisaran 6,5% hingga 7,5% pada tahun 2026, menurut pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa (20/05).
“Angka kemiskinan ditargetkan turun ke rentang 6,5% hingga 7,5%, dibandingkan target tahun 2025 yang berada di 7% hingga 8%,” jelas Sri Mulyani dalam pidatonya. Target ini menjadi bagian dari fokus pembangunan ekonomi inklusif di masa pemerintahan baru.
Dalam kesempatan tersebut, pemerintah juga menyampaikan target pertumbuhan ekonomi nasional pada 2026 di kisaran 5,2% hingga 5,8%, dengan tingkat inflasi dijaga di level 3,5%. Selain itu, tingkat pengangguran terbuka ditargetkan turun ke kisaran 4,44% hingga 4,96%.
Langkah ini merupakan bagian dari strategi pembangunan jangka menengah yang menekankan peningkatan kualitas sumber daya manusia, inklusi keuangan, serta distribusi kesejahteraan yang lebih merata.
Table of Contents
Data BPS vs World Bank: Perbedaan Signifikan Soal Kemiskinan
Namun, Target Kemiskinan Indonesia 2026 ini menghadapi tantangan serius dari perbedaan data yang dirilis oleh lembaga nasional dan internasional. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan per September 2024 berada di level 8,57%. Ini menjadi dasar dari perumusan target pemerintah dua tahun ke depan.
Namun, laporan terbaru dari World Bank menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia sebenarnya jauh lebih tinggi, yakni mencapai 60,3% jika menggunakan standar garis kemiskinan internasional sebesar US$3,65 per hari.
Perbedaan data ini menimbulkan kontroversi publik dan menyoroti pentingnya metodologi penghitungan. Pemerintah menggunakan batas kemiskinan absolut versi nasional, sementara World Bank mengadopsi standar global yang lebih ketat. Hal ini menimbulkan perbedaan besar dalam persepsi publik terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Strategi Pemerintah untuk Mencapai Target Kemiskinan Indonesia 2026
Untuk mencapai Target Kemiskinan Indonesia 2026, pemerintah menyusun sejumlah kebijakan strategis, mulai dari perluasan bantuan sosial, reformasi perlindungan sosial, peningkatan investasi di sektor pendidikan dan kesehatan, hingga program padat karya berbasis desa.
Sri Mulyani menegaskan bahwa penurunan kemiskinan tidak bisa dicapai hanya dengan pertumbuhan ekonomi, melainkan juga melalui redistribusi pendapatan dan inklusi keuangan. Pemerintah akan memperkuat jaring pengaman sosial serta memperluas akses pembiayaan mikro dan ultra mikro.
Salah satu instrumen penting yang akan dimanfaatkan adalah Dana Desa, Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan Program Keluarga Harapan (PKH), yang akan dioptimalkan untuk menjangkau rumah tangga rentan yang belum terlayani sistem perlindungan sosial formal.
Tantangan dan Realita di Lapangan
Meskipun Target Kemiskinan Indonesia 2026 dinilai realistis oleh sebagian kalangan, tantangan utama tetap terletak pada konsistensi pelaksanaan program di lapangan. Banyak program pengentasan kemiskinan di masa lalu yang gagal karena lemahnya koordinasi antar lembaga dan inefisiensi birokrasi.
Kritikus juga mempertanyakan apakah target ini dapat tercapai di tengah ancaman perlambatan ekonomi global, kenaikan harga pangan, serta tekanan fiskal akibat pembiayaan proyek infrastruktur dan subsidi energi yang masih besar.
Selain itu, berdasarkan data BPS, sebagian besar penduduk miskin Indonesia berada di wilayah pedesaan, dengan akses terbatas terhadap layanan dasar seperti air bersih, listrik, dan pendidikan. Oleh karena itu, intervensi berbasis lokasi menjadi krusial untuk mengurangi disparitas antar daerah.
Kesimpulan: Perlu Transparansi dan Konsistensi Eksekusi
Target Kemiskinan Indonesia 2026 menjadi ukuran penting dari arah kebijakan sosial ekonomi pemerintahan Presiden Prabowo. Target menurunkan angka kemiskinan hingga 6,5% memang ambisius, namun dapat dicapai jika strategi pembangunan dilakukan secara inklusif, berbasis data, dan dieksekusi dengan disiplin.
Namun perbedaan tajam antara data BPS dan World Bank menekankan pentingnya transparansi, harmonisasi metodologi, dan komunikasi publik yang jujur. Masyarakat berhak tahu kondisi sesungguhnya, dan pemerintah harus responsif terhadap kritik maupun koreksi dari lembaga independen.
Ke depan, pencapaian Target Kemiskinan Indonesia 2026 tidak hanya ditentukan oleh indikator makro seperti PDB dan inflasi, tetapi juga oleh kemampuan negara menciptakan keadilan ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat. Tanpa itu, angka di atas kertas tidak akan bermakna bagi mereka yang tetap hidup dalam garis kemiskinan.